Minggu, 10 Maret 2013

Tiba-Tiba saja gemericik hujan malam ini terasa melambat


Tiba-tiba saja gemericik hujan malam ini terasa melambat, Semuanya seolah mengalun mengikuti nada-nada angin yang lemahgemulai tak ber-arah. Sunyi, tak ada bebunyian dari hewan-hewan nokturno yang menandakan semaraknya malam. Tak ada satupun yang mengisahkan bebunyian, tanpa terkecuali kenduri air mata milik el nina yang sejam lalu telah membubarkan pesta lelaki yang sedang menyulut bianglala sesudah hujan senja tadi. Sungguh inilah yang kusaksikan, sebuah kesunyian yang tiba-tiba saja melambat, merangsek hingga kebagian rusukku yang paling dalam, bahkan cerita tentang penghianatan yang tak lelah hilirmudik pekan ini, nyaris tak menyisakan jejak disemua catatan waktuku. Kosong.


Jika saya berpaling, dilainnya; hanya ada bisik-bisik lansekap cahaya yang tampak saling memburu, mungkin menandakan ketakutan, mungkin pula serupa kecemasan, namun saya tetap masih tak menyanggah hal ini, Ya! Ia, tetap membuat pola serupa uliran selendang yang menjulur memanjat langit, ini khidmat, dan seolah melengkapi ibadah paling suci dalam petualangan menyibak lorong waktu malam ini.

Jika kau bertanya bagaimana keadaanku malam ini, maka jawabnya adalah; saya tengah pasif dalam kondisi sesuci ini, Saya serasa menyublin bersama udara, memenuhi ruang-ruang gelap yang tak memiliki definisi, bahkan mungkin dengan egois saya akan mengatakan, “saya sedang membayangkan betapa terpujinya jika senja sore tadi akhirnya memutuskan akan bersinar menutupi gelap pada malamnya”, sungguh!, dengan Tuhan siapapun saya berumpah, terpujilah kau yang mengendalikan temaram dan planet-planet yang bermandikan cahaya.

Jangan tanya saya lagi tentang diagram bumi ini, karena jika saya mengagumi Ares, maka saya pula begitu jatuh cinta pada Chaos, namun bukan karena diagram dan amisnya bilangan aritmatika saat diucapkan satu persatunya, saya hanya menyukainya tanpa alasan apapun, tak terkecuali. Namun jika saja saya terpaksa diharuskan untuk menyebutnya, maka saya hanya mau menyebut ini sebagai tabrakan antara dua buah planet yang menyebabkan kekasih api dan air bertemu dalam satu periode kehidupan. Saya kira ini cukup dan tak memiliki kesan yang begitu naif terdengar nantinya jika diucapkan berulang-ulang.

Iya, saya bukan zeus dan hera. Apalagi romeo kekasih juliete, tak ada apapun disini, Tak ada yang perlu dan patut kalian sandingkan dariku, sebab satu-satunya kesamaanku dengan mereka adalah misiku mengekstasi dunia ini dengan api, namun itu kompleks berikut keyakinanku akan sebuah dunia dimana hanya kami dan mereka yang terus menerus menjaga api dikepalanya agar tak padam.

Untuk dua buah malam yang singkat, terimalah, Saya telah menulis parafrase ini dalam kondisi hampir terbunuh oleh waktu, tersita oleh sekrup mesin peradaban, dan akhirnya mencoba mengatakan bahwa ada banyak kesimpulan yang berlipat ganda tentang sesuatu yang melambat, dan seharusnya semua ini tak datang terburu-buru.

Wahai kau Ratu yang memorak-porandakan pontus, kau yang mengendalikan pusaran dan lubang hitam didalam palung kehidupanku saat ini, Jangan bertanya lagi, jika lansekap diagram Semesta malam ini tiba-tiba saja melambat, berguaraulah karena hidup ini kian membosankan. Inilah, bagaimana seharusnya kita menjadi.

Panjang umur kekasih api, Saya merindukan masa hibernasi bersamamu.



0 komentar:

Posting Komentar