Tiba-tiba saja gemericik
hujan malam ini terasa melambat, Semuanya seolah mengalun mengikuti
nada-nada angin yang lemahgemulai tak ber-arah. Sunyi, tak ada
bebunyian dari hewan-hewan nokturno yang menandakan semaraknya malam.
Tak ada satupun yang mengisahkan bebunyian, tanpa terkecuali kenduri
air mata milik el nina yang sejam lalu telah membubarkan pesta lelaki
yang sedang menyulut bianglala sesudah hujan senja tadi. Sungguh
inilah yang kusaksikan, sebuah kesunyian yang tiba-tiba saja
melambat, merangsek hingga kebagian rusukku yang paling dalam, bahkan
cerita tentang penghianatan yang tak lelah hilirmudik pekan ini,
nyaris tak menyisakan jejak disemua catatan waktuku. Kosong.
Jika saya berpaling,
dilainnya; hanya ada bisik-bisik lansekap cahaya yang tampak saling
memburu, mungkin menandakan ketakutan, mungkin pula serupa kecemasan,
namun saya tetap masih tak menyanggah hal ini, Ya! Ia, tetap membuat
pola serupa uliran selendang yang menjulur memanjat langit, ini
khidmat, dan seolah melengkapi ibadah paling suci dalam petualangan
menyibak lorong waktu malam ini.
Jika kau bertanya
bagaimana keadaanku malam ini, maka jawabnya adalah; saya tengah
pasif dalam kondisi sesuci ini, Saya serasa menyublin bersama udara,
memenuhi ruang-ruang gelap yang tak memiliki definisi, bahkan mungkin
dengan egois saya akan mengatakan, “saya sedang membayangkan betapa
terpujinya jika senja sore tadi akhirnya memutuskan akan bersinar
menutupi gelap pada malamnya”, sungguh!, dengan Tuhan siapapun saya
berumpah, terpujilah kau yang mengendalikan temaram dan planet-planet
yang bermandikan cahaya.
Jangan tanya saya lagi
tentang diagram bumi ini, karena jika saya mengagumi Ares, maka saya
pula begitu jatuh cinta pada Chaos, namun bukan karena diagram dan
amisnya bilangan aritmatika saat diucapkan satu persatunya, saya
hanya menyukainya tanpa alasan apapun, tak terkecuali. Namun jika
saja saya terpaksa diharuskan untuk menyebutnya, maka saya hanya mau
menyebut ini sebagai tabrakan antara dua buah planet yang menyebabkan
kekasih api dan air bertemu dalam satu periode kehidupan. Saya kira
ini cukup dan tak memiliki kesan yang begitu naif terdengar nantinya
jika diucapkan berulang-ulang.
Iya, saya bukan zeus dan
hera. Apalagi romeo kekasih juliete, tak ada apapun disini, Tak ada
yang perlu dan patut kalian sandingkan dariku, sebab satu-satunya
kesamaanku dengan mereka adalah misiku mengekstasi dunia ini dengan
api, namun itu kompleks berikut keyakinanku akan sebuah dunia dimana
hanya kami dan mereka yang terus menerus menjaga api dikepalanya agar
tak padam.
Untuk dua buah malam
yang singkat, terimalah, Saya telah menulis parafrase ini dalam
kondisi hampir terbunuh oleh waktu, tersita oleh sekrup mesin
peradaban, dan akhirnya mencoba mengatakan bahwa ada banyak
kesimpulan yang berlipat ganda tentang sesuatu yang melambat, dan
seharusnya semua ini tak datang terburu-buru.
Wahai kau Ratu yang
memorak-porandakan pontus, kau yang mengendalikan pusaran dan lubang
hitam didalam palung kehidupanku saat ini, Jangan bertanya lagi, jika
lansekap diagram Semesta malam ini tiba-tiba saja melambat,
berguaraulah karena hidup ini kian membosankan. Inilah, bagaimana
seharusnya kita menjadi.
Panjang umur kekasih api,
Saya merindukan masa hibernasi bersamamu.
0 komentar:
Posting Komentar