Beberapa minggu dipenghabisan tahun ini. Adalah hari-hari
yang penuh dilema bagi kami. Khususnya bagi saya. Bagaimana tidak, saya harus
berkali-kali menyediakan telingaku untuk kekasih yang pulang membawa cerita
tentang segalanya yang tak mesti melampaui prinsip hidup.
Pagi itu,
jam 10.00 lebih saya bersemangat membangunkan kekasih. Bayangan tentang mesin
jahit berjelaga dalam kepalaku, iya, ini adalah salah satu barang yang sangat
ingin kumiliki selain blender. Semua itu
butuh uang dalam jumlah yang tak sedikit bagi kami.
“ayo,
bangun!bukankah hari ini kamu akan melamar kerja?”ucapku sambil
menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Dia terlihat
menggeliat, mengumpulkan nyawa yang timbul tenggelam akibat kantuk, pada
kahirnya beranjak mandi, berpakaian rapi. Lalu berangkat menuju Borong raya.saya
menunggu dengan rasa bahagia bercampur cemas.
Selang 2 jam kemudian, dia muncul di ambang pintu sambil
senyum-senyum. saya menyambutnya dengan berondongan
tanya”bagaimana?diterima?bisa ijin?”.
“tidak, saya menolak pekerjaanya,jam kerjanya padat, blablabla”
sambil mengusap kepalanya dia meraih remote tv. Bayangan tentang mesin jahit
perlahan kabur, kabur, kabur, lalu hilang tak berbekas. Saya maklum.
Beberapa hari setelahnya, sepasang kekasih bertandang ke
rumah. Mereka kemudian bercerita bahwa
baru saja mereka menolak pekerjaan dari sebuah tempat yang dari hasil obrolan,
kami ketahui bahwa perusahaan tersebut titit titit titit *maaf bagian titit disensor
Sepupu saya yang ganteng pernah pula berkata “saya tak
percaya kalau kalian tak butuh uang”.
Iya, sulit memang meyakinkan orang tentang hal ini. Apalagi orang-orang
yang tau betul bagaimana kehidupanku sebelumnya.
Tak mudah hidup dengan pilihan-pilihan seperti ini. Bersetia pada sebuah tempat yang engkau dan kekasihmu sama-sama sepakati sebagai “rumah” meski disana tersisa remah nasi. Tetap bersetia dengan memegang teguh pilihan hidup. Kalaupun kelak kami akan diberi pilihan-pilihan yang sulit dan mengharuskan kami untuk kompromis, semoga tak menggadaikan harga diri dan mimpi-mimpi kami.
Tak mudah hidup dengan pilihan-pilihan seperti ini. Bersetia pada sebuah tempat yang engkau dan kekasihmu sama-sama sepakati sebagai “rumah” meski disana tersisa remah nasi. Tetap bersetia dengan memegang teguh pilihan hidup. Kalaupun kelak kami akan diberi pilihan-pilihan yang sulit dan mengharuskan kami untuk kompromis, semoga tak menggadaikan harga diri dan mimpi-mimpi kami.
Saya masih disini, saya bahagia bisa bertemu dengan kekasih dan teman-teman yang karenanya mengubah pandangan saya tentang “kerja” dalam makna sempit masyarakat, dimana kerja harus dinilai dari seberapa besar ia mendatangkan profit dan menjamin kelangsungan hidup untuk bisa membeli keesokannya. Bukankah kerja perlu kita pandang dari seberapa bermanfaat bagi orang lain.
saya masih disini,
bersetia menyambutmu muncul di ambang pintu dengan pakian lusuh penuh cat,
dengan bau amis badan bercampur bau pilox. Mata kita cekung dengan tulang berbalut segenggam daging, tapi kita sama-sama tau, kita sedang bersiap-siap. Meski kita tak
melewati jalan utama yang umum dilalui orang. Kita mencintai kekasih-kekasih
kita dirumah, juga sekawanan nol dan ares yang semoga selekas mungkin hadir dikemudian
hari. maka salahlah mereka yang mengukur kebahagiaan dari berat badan. Dan satu hal yang patut mereka tau, kita disini karena cinta, karena benci!