Kamis, 28 Maret 2013

SURAT DIMALAM TANPA HUJAN



nol!
Aku menuliskan ini ketika aku kembali kedalam rumah mewah ini. Seusai kau mengantarku saat jarum jam hampir menunjuk angka 7 malam ini, angka yang kusukai bentuknya. Telah kurencanakan untuk menulis ini, tepat ketika langkah pertamaku di ambang pintu rumah ini. Sambil mengenang kepergianmu tadi bahwa aku sempat menarik tanganmu, tetap menciumi punggungnya meski kau beri setengah enggan. Tak perlulah kau beri aku kertas-kertas yang bertuliskan nominal angka diatasnya untukku jajan. Aku hanya ingin menciumi punggung tanganmu, demi meyakinkanku yang punya penyakit takut yang akut sebab ragu, aku ingin yakin bahwa esok kau akan kembali untuk menjemputku. Membawa senyum serta semangat yang masih sama seperti kemarin, atau bahkan lebih. Matahari ,masih tetap ada diatas sana untuk menyinari kehidupan kan?meski kadang awan yang menggelayut disekitrnya membuat kita meragukan keberadaannya.

Aku masuk kedalam rumah. Menelusuri lekak-lekuknya sambil membawa sepiring nasi ditanganku. Rumah ini masih seperti 3 tahun yang lalu saat aku terhitung sebagai salah satu penghuninya. Dengan aroma rumah yang yang sudah kuhafal betul.aku tak ingin berkata bahwa aroma rumah mewah ini kusukai. Sebab aroma tubuhmulah yang paling kusukai pun jika ia di sandingkan dengan parfum terwangi sedunia. aku menempati kamar paling belakang di lantai 2 rumah. Tepat disamping kamarku yang dulu. Sambil menguyah, aku mulai mengetik ini. Bukan ingin merangkai kata untuk menggombalmu. Sungguh, jika saja kejujuran didibaratkan sebagai riasan, maka tak terbayangkan bagaimana jadinya jika dia dilebihkan. Tepat tengah malam, saat hujan telah enggan mencumbui daratan. Aku duduk didepan laptop lalu mulai mengetik, mengenangmu, merindumu.

Mengingat bagaimana ketika pagi tadi kita saling merenggut, aku merajuk dan kau kebingungan sebab tak tau sebabnya. Sambil mengatur napasmu yang mulai terserang sesak, kau membujuk. Tak ada rayuan, Dan aku kecewa. Seperti anak kecil menjauh darimu dan berkeras untuk tetap berbaring di atas lantai. Aku juga tak tahu mengapa aku sering berlaku sebodoh ini ketika ingin kau perhatikan. Mungkin karena hujan telah pergi hingga pagi terasa begitu menyakitkan untuk kita saling berpeluk. Hahhh...aku rindu hujan!

Semalam kau sempat bercerita. Tentang rasa bosan yang tak bisa kita lawan. Ditengah perbincangan kita sebelum berkeliling kota. Kau berkata lelah menunggu saat-saat yang kau nantikan dimana semuanya telah hancur, biar kita,mereka, semua tahu bagaimana rasanya kehilangan, bagaimana rasanya ketika kita tahu bahwa segala disekitar sangat berarti, tepat ketika semuanya benar-benar hancur.

Sayang,
Aku mulai ragu pada kehidupan ini, sebenarnya telah lama kurasakan. Kalau kau masih menyimpannya, aku pernah bercerita didalam suratku yang pertama sampai kepadamu dahulu. Bahwa hidup hanyalah sebuah omong kosong besar. Omong kosong diperlukan untuk memberi warna cerah ataukah pudar dalam hidup. Maka masing-masing kita akan berusaha mengelabui yang lainnya. Yah, kita saling mengelabui untuk tetap menjaga segalanya terus berlangsung.Benarkah?entahlah, akupun ragu. Seperti aku yang meragukan malam yang kau kenalkan kepadaku itu. Akhh, sepertinya dia mulai mencintaiku atau mungkin membenciku hingga tak diizinkan mataku memejam barang sejenak hingga ia benar-benar berlalu. Kau selalu jatuh terlelap disampingku, sayang. Akupun mulai ragu bahwa mungkin kau tak cemburu malam mencumbuku.

Kukatakan kepadamu tadi bahwa jika kau bosan padaku maka aku akan datang dengan topengku. Aku telah memilih,seperti pintamu, akan kupertahankan. Mengatur posisi badan agar tetap tegak didepan mereka yang berlagak seperti wartawan yang banyak tanya. Agar tetap keluar kata-kata tegas dan jelas bahwa ini bukanlah bagian dari dongeng kehidupan mereka. Ini adalah milik kita dan tak selayaknya masing-masing pihak saling mencampuri. Tak ada yang ingin dicampuri. Kita berada dalam dongeng yang memiliki aturannya sendiri. Mungkin tak sama dengan yang lain.

Dalam bosan yang menderu. Aku berharap tak akan menguapkan apapun  yang telah kita bangun. Imaji-imaji liar kita, dan tentang dunia lain itu. Tak perlu menunggu lamakan? Kita telah memulainya, katamu. Jangan jauh-jauh dariku sekalipun bosan mendera kita.

Kapan kita berjalan-jalan melihat pepohonan yang tumbuh liar?
menyapu rumput basah dengan tapak kaki kita 
atau menyentuh air laut yang beriak dari atas perahu
aku rindu !
sebentar lagi kumpulan bintang akan dibubarkan pagi
Semoga bisa mengantuk lebih awal kali ini.
Selamat malam, Mimpilah seliarnya, kekasihku!







0 komentar:

Posting Komentar