(Hadiah Dari kekasih)
Saya menamainya ruang lengang. Dengan tanah merahnya, serta
aroma rumput basah sehabis hujan yang membelai penciuman ketika kita memasuki
daerah ini. Rumah warga Nampak berjejer
disisi kiri dan kanan jalan, teratur dan berjarak, Kian kedalam kian jarang. Daerah ini adalah
daerah dataran tinggi dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut. Letaknya
diantara perbatasan maros dan gowa,
merupakan daerah yang masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Maros tapi
justru sangat sangat
dekat dari Kota Makassar. Moncongloe, ya, menuju situlah kami hari ini minggu
26 mei 2013.
Menilik sejarah, Moncongloe adalah sebuah kamp pengasingan
bagi mereka yang dicurigai terlibat atau punya hubungan dengan PKI pada tahun
1965 hingga awal 1966. Mereka berasal dari beberapa daerah, yang dijebloskan kedalam penjara lalu diasingkan kekamp pengasingan
moncongloe. Mereka diisolasi disana. Turun temurun, hingga sampai kini masih
terasa. Dapat kita lihat dengan tak tersentuhnya daerah ini oleh pembangunan
padahal jaraknya sangat dekat dengan kota Makassar. Mendengar namanyapun
mungkin akan terasa asing ditelinga sebagian kita. Tak mengapa, kami bersyukur,
dengan demikian hutan disana tak akan
terganggu oleh pembangunan liar yang mengatasnamakan kesejahteraan.
Berbekal bebeberapa perlengkapan kebutuhan kami selama
disana. Di temani oleh jasmudin dan seorang teman lagi, adam. Tepat pukul 17.00
WITA kami meluncur, menuju daerah tersebut setelah melewati banyak hal
menjengkelkan, bagaimana tidak, beberapa keperluan kami susah didapat, ada yang
tertinggal dan baru kami sadari ketika perjalanan kami hampir separuh.kami
memilih jalur lewat BTP sebab lebih dekat. Gerimis mengiringi perjalanan kami
sore itu.
Setelah menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor hampir
20 menit, akhirnya kami sampai dikaki bukit moncongloe, tempat yang kami tuju dan
telah kami rencanakan untuk menginap satu malam. Ini adalah jalan-jalan kami
yang pertama menuju tempat dengan alam terbuka. Keluar sejenak dari himpitan
Kota yang menyesakkan. Meski tak hanya berdua.
Dengan sisa lelah sehabis kesibukan kami beberapa hari yang
lalu serta kebiasaan telat tidur yang membuat kami selalu kurang tidur, kami
tetap bersemangat. Ini adalah jalan-jalan yang kami lakukan tiba-tiba. Tanpa rencana
dan pematangan rencana. Hanya dari mengobrol ringan yang entah kenapa tiba pada
pembicaraan tentang bukit Moncongloe yang disebut-sebut kekasihku sangat indah.
Saya penasaran, demikian juga jasmudin dan adam yang terlibat dalam
perbincangan saat itu. Dan tanpa bertele-tele kami sepakat untuk kesana hari
ini. Kadang-kadang kita harus bergegas meski belum siap. Seperti matahari yang
terbit setiap paginya.
Stelah berbincang sejenak dengan warga yang menghuni rumah
dikaki bukit, kami berpamitan., memulai perjalanan, mendaki keatas bukit. Pepohonan
yang sejuk, dengan rumput basah sehabis hujan, menyambut kami, dan, lihat! Kami
terperangah meyaksikan rainbow yang disisakan hujan sore ini. Kami terus
berjalan keatas. Disana ada batu besar. Tempat kita bisa menyaksikan matahari
terbenam dengan sempurna, juga bisa menyaksikan seluruh Kota Makassar.
Beberapa kali saya hampir menyerah. Ini bukan medan yang
sulit. Tapi karena tak ada persiapan sebelumnya, maka saya tersengal, beberapa
kali saya meminta untuk singgah. Hari hampir gelap, kekasihku mulai khawatir kami
tak bisa mengenali jalan kalau gelap memergoki kami nanti. Dia terus
mennyemangati. Dibawah gerimis yang kian besar, kudengar teriakannya melihatku
kembali terduduk dibawah pohon hampir menyerah. Setelah dibujuk, akhirnya saya
kembali mengumpulkan semangat dan bangkit, menyusuri jalan yang menanjak. Yang
katanya kami terlalu jauh melintas kesebelah kanan hingga perjalanan sedikit
panjang.
Jasmudin dan adam telah tiba duluan diatas batu bukit. Kami
menyusul di belakang. Kudengar mereka berteriak histeris sambil mengahadap kebawah.
Akhirnya kami tiba di atas. Dan, hei, lihat! Ini bukan hadiah boneka yang
meniru bentuk binatang kesukaan, bukan pula plastic yang menyerupai bunga. Tak
palsu, ini asli hadiah dari kekasih, sebuah pemandangan alam yang tak perlu
uang untuknya.
Masih dibawah gerimis, kusaksikan kota dari atas bukit,
takjub pada perpaduan harmoni cahaya lampunya yang seperti menari dan berubah
menjadi buih ketika ditatap dalam dan lama. Merugilah mereka didalamnya yang
merasa normal ketika larut dalam derasnya arus kesibukan rutinitas dan selalu
terburu-buru dikesehariannya. Ah, kita harus sering-sering kesini Nol, sekedar
menikmati secangkir teh lalu pulang. Merasakan dinginnya sentuhan angin dikulit
kita, bukan duduk dikamar melulu dengan kepalsuan angin ciptaan kipas dari
pabrik kapitalis. Disini lengang, sangat tenang. Tak ada papan iklan, tak ada
petunjuk keharusan ketika menggunakan badan jalan, tak ada papan nama penunjuk
tempat yang jika di teliti lebih lanjut, kesemuanya hanyalah petunjuk yang
mengarahkan kita pada beli, beli dan konsumsi.
Tak ada tanda hujan akan berhenti, maka kami memutuskan untuk
berteduh dahulu dirumah kebun sambil menunggu hujan reda, langit bersih dan
kami akan keluar menyaksikan gerombolan bintang dan pasi rembulan. Berbincang
sejenak dirumah kebun, menyusun rencana. Setelah hujan sedikit mereda, kami
memutuskan untuk keluar, kembali keatas batu dan mempersiapkan makan malam,
saya dan jasmudin bertugas mengumpulkan kayu untuk pembakaran ikan, nol dan adam
menuju tempat pengambilan air, kami melakukan semua hal bersama-sama disini.
Berbagi pengalaman, berbagi kepunyaan dan semua itu tak harus dengan uang.
Hidangan Makan malam siap, dengan beralas daun pisang, kami
mulai makan dibawah pohon yang kembali diikuti oleh gerimis. Disini makanan apa
saja enaknya jadi berlipat ganda. Kami menghabiskan makanan lekas-lekas karena
hujan kian besar lalu berpindah kebawah kolom rumah kebun. Membuat api unggun,
kembali bercerita lalu menyusun rencana lagi, dan tentu, masih tetap berharap
hujan akan reda malam ini.
Setelah bercanda-canda dibawah kolom rumah, kami kembali
berpindah kedalam rumah karena sepertinya hujan tak akan reda malam ini.
Membakar tungku didapur rumah kebun, menghangatkan badan lalu tidur ketika
gerimis berubah menjadi besar, angin kencang berhembus. Menyempurnakan dingin malam
ini. Adam tertidur duluan, menyusul jasmudin, nol, sementara saya tetap terjaga
sampai pagi. Sambil sesekali mengintip pemandangan diluar dari celah dinding. saya
tak ingin melewatkan momen ini, yang membuatku serasa sedang diatas pincalang
dalam sebuah pelayaran jauh.
Pagi selalu datang tepat waktu, tak peduli kita siap atau
tidak, tak perduli hujan belum pernah reda dan kita belum sempat menyaksikan
bintang malam tadi. Tidur ketika pagi hanya satu jam karena tak ingin suasana
dipagi ini terlewatkan. Saya menyusul yang lainnya diatas batu. Hari ini kami
mengambil langsung makanan dari alam, memetik langsung dari pohon. Memasak dan
mengolahnya sendiri.ah, hidup tentulah akan menyenangkan jika kita masih
seperti ini. Tapi kita telah diseret jauh oleh arus modernisasi yang menjebak
dan memaksa kita untuk bisa beradaptasi didalamnya, dalam keadaan terasing dari
diri kita, dari sifat-sifat alamiah kita.
Masih beralaskan daun pisang. Kami kembali bersantap siang.
Berbincang diatas batu lalu memutuskan kembali pulang lebih awal, kami akan
kembali lagi kesini, tidak menyaksikan matahari terbenam hari ini. Semoga
setapak yang mulai masuk kedaerah ini terhenti atau hancur saja sekalian. panjang
umur, sehat dan berbahagialah selalu untuk kita semua!
0 komentar:
Posting Komentar