Selasa, 28 Mei 2013

Disini lengang, sangat tenang


(Hadiah Dari kekasih)




Saya menamainya ruang lengang. Dengan tanah merahnya, serta aroma rumput basah sehabis hujan yang membelai penciuman ketika kita memasuki daerah ini.  Rumah warga Nampak berjejer disisi kiri dan kanan jalan, teratur dan berjarak,  Kian kedalam kian jarang. Daerah ini adalah daerah dataran tinggi dengan ketinggian 250 meter di atas permukaan laut. Letaknya  diantara perbatasan maros dan gowa, merupakan daerah yang masuk kedalam wilayah administrasi Kabupaten Maros tapi justru sangat sangat dekat dari Kota Makassar. Moncongloe, ya, menuju situlah kami hari ini minggu 26 mei 2013.



Menilik sejarah, Moncongloe adalah sebuah kamp pengasingan bagi mereka yang dicurigai terlibat atau punya hubungan dengan PKI pada tahun 1965 hingga awal 1966. Mereka berasal dari beberapa daerah, yang dijebloskan  kedalam penjara lalu diasingkan kekamp pengasingan moncongloe. Mereka diisolasi disana. Turun temurun, hingga sampai kini masih terasa. Dapat kita lihat dengan tak tersentuhnya daerah ini oleh pembangunan padahal jaraknya sangat dekat dengan kota Makassar. Mendengar namanyapun mungkin akan terasa asing ditelinga sebagian kita. Tak mengapa, kami bersyukur, dengan demikian hutan  disana tak akan terganggu oleh pembangunan liar yang mengatasnamakan kesejahteraan.

Berbekal bebeberapa perlengkapan kebutuhan kami selama disana. Di temani oleh jasmudin dan seorang teman lagi, adam. Tepat pukul 17.00 WITA kami meluncur, menuju daerah tersebut setelah melewati banyak hal menjengkelkan, bagaimana tidak, beberapa keperluan kami susah didapat, ada yang tertinggal dan baru kami sadari ketika perjalanan kami hampir separuh.kami memilih jalur lewat BTP sebab lebih dekat. Gerimis mengiringi perjalanan kami sore itu.

Setelah menempuh perjalanan menggunakan sepeda motor hampir 20 menit, akhirnya kami sampai dikaki bukit moncongloe, tempat yang kami tuju dan telah kami rencanakan untuk menginap satu malam. Ini adalah jalan-jalan kami yang pertama menuju tempat dengan alam terbuka. Keluar sejenak dari himpitan Kota yang menyesakkan. Meski tak hanya berdua.

Dengan sisa lelah sehabis kesibukan kami beberapa hari yang lalu serta kebiasaan telat tidur yang membuat kami selalu kurang tidur, kami tetap bersemangat. Ini adalah jalan-jalan yang kami lakukan tiba-tiba. Tanpa rencana dan pematangan rencana. Hanya dari mengobrol ringan yang entah kenapa tiba pada pembicaraan tentang bukit Moncongloe yang disebut-sebut kekasihku sangat indah. Saya penasaran, demikian juga jasmudin dan adam yang terlibat dalam perbincangan saat itu. Dan tanpa bertele-tele kami sepakat untuk kesana hari ini. Kadang-kadang kita harus bergegas meski belum siap. Seperti matahari yang terbit setiap paginya.


Stelah berbincang sejenak dengan warga yang menghuni rumah dikaki bukit, kami berpamitan., memulai perjalanan, mendaki keatas bukit. Pepohonan yang sejuk, dengan rumput basah sehabis hujan, menyambut kami, dan, lihat! Kami terperangah meyaksikan rainbow yang disisakan hujan sore ini. Kami terus berjalan keatas. Disana ada batu besar. Tempat kita bisa menyaksikan matahari terbenam dengan sempurna, juga bisa menyaksikan seluruh Kota Makassar.

Beberapa kali saya hampir menyerah. Ini bukan medan yang sulit. Tapi karena tak ada persiapan sebelumnya, maka saya tersengal, beberapa kali saya meminta untuk singgah. Hari hampir gelap, kekasihku mulai khawatir kami tak bisa mengenali jalan kalau gelap memergoki kami nanti. Dia terus mennyemangati. Dibawah gerimis yang kian besar, kudengar teriakannya melihatku kembali terduduk dibawah pohon hampir menyerah. Setelah dibujuk, akhirnya saya kembali mengumpulkan semangat dan bangkit, menyusuri jalan yang menanjak. Yang katanya kami terlalu jauh melintas kesebelah kanan hingga perjalanan sedikit panjang.

Jasmudin dan adam telah tiba duluan diatas batu bukit. Kami menyusul di belakang. Kudengar mereka berteriak histeris sambil mengahadap kebawah. Akhirnya kami tiba di atas. Dan, hei, lihat! Ini bukan hadiah boneka yang meniru bentuk binatang kesukaan, bukan pula plastic yang menyerupai bunga. Tak palsu, ini asli hadiah dari kekasih, sebuah pemandangan alam yang tak perlu uang untuknya.


Masih dibawah gerimis, kusaksikan kota dari atas bukit, takjub pada perpaduan harmoni cahaya lampunya yang seperti menari dan berubah menjadi buih ketika ditatap dalam dan lama. Merugilah mereka didalamnya yang merasa normal ketika larut dalam derasnya arus kesibukan rutinitas dan selalu terburu-buru dikesehariannya. Ah, kita harus sering-sering kesini Nol, sekedar menikmati secangkir teh lalu pulang. Merasakan dinginnya sentuhan angin dikulit kita, bukan duduk dikamar melulu dengan kepalsuan angin ciptaan kipas dari pabrik kapitalis. Disini lengang, sangat tenang. Tak ada papan iklan, tak ada petunjuk keharusan ketika menggunakan badan jalan, tak ada papan nama penunjuk tempat yang jika di teliti lebih lanjut, kesemuanya hanyalah petunjuk yang mengarahkan kita pada beli, beli dan konsumsi.

Tak ada tanda hujan akan berhenti, maka kami memutuskan untuk berteduh dahulu dirumah kebun sambil menunggu hujan reda, langit bersih dan kami akan keluar menyaksikan gerombolan bintang dan pasi rembulan. Berbincang sejenak dirumah kebun, menyusun rencana. Setelah hujan sedikit mereda, kami memutuskan untuk keluar, kembali keatas batu dan mempersiapkan makan malam, saya dan jasmudin bertugas mengumpulkan kayu untuk pembakaran ikan, nol dan adam menuju tempat pengambilan air, kami melakukan semua hal bersama-sama disini. Berbagi pengalaman, berbagi kepunyaan dan semua itu tak harus dengan uang.

Hidangan Makan malam siap, dengan beralas daun pisang, kami mulai makan dibawah pohon yang kembali diikuti oleh gerimis. Disini makanan apa saja enaknya jadi berlipat ganda. Kami menghabiskan makanan lekas-lekas karena hujan kian besar lalu berpindah kebawah kolom rumah kebun. Membuat api unggun, kembali bercerita lalu menyusun rencana lagi, dan tentu, masih tetap berharap hujan akan reda malam ini.
Setelah bercanda-canda dibawah kolom rumah, kami kembali berpindah kedalam rumah karena sepertinya hujan tak akan reda malam ini. Membakar tungku didapur rumah kebun, menghangatkan badan lalu tidur ketika gerimis berubah menjadi besar, angin kencang berhembus. Menyempurnakan dingin malam ini. Adam tertidur duluan, menyusul jasmudin, nol, sementara saya tetap terjaga sampai pagi. Sambil sesekali mengintip pemandangan diluar dari celah dinding. saya tak ingin melewatkan momen ini, yang membuatku serasa sedang diatas pincalang dalam sebuah pelayaran jauh.

Pagi selalu datang tepat waktu, tak peduli kita siap atau tidak, tak perduli hujan belum pernah reda dan kita belum sempat menyaksikan bintang malam tadi. Tidur ketika pagi hanya satu jam karena tak ingin suasana dipagi ini terlewatkan. Saya menyusul yang lainnya diatas batu. Hari ini kami mengambil langsung makanan dari alam, memetik langsung dari pohon. Memasak dan mengolahnya sendiri.ah, hidup tentulah akan menyenangkan jika kita masih seperti ini. Tapi kita telah diseret jauh oleh arus modernisasi yang menjebak dan memaksa kita untuk bisa beradaptasi didalamnya, dalam keadaan terasing dari diri kita, dari sifat-sifat alamiah kita.
Masih beralaskan daun pisang. Kami kembali bersantap siang. Berbincang diatas batu lalu memutuskan kembali pulang lebih awal, kami akan kembali lagi kesini, tidak menyaksikan matahari terbenam hari ini. Semoga setapak yang mulai masuk kedaerah ini terhenti atau hancur saja sekalian. panjang umur, sehat dan berbahagialah selalu untuk kita semua!


0 komentar:

Posting Komentar