Minggu, 19 Mei 2013

resensi novel "pincalang" (sebuah analisa ringan)



Resensi Buku
Judul Novel : Picalang
Penulis : Idris Pasaribu
Penerbit : Salsabila
Tahun : 2012
(Pe)resensi : Tim Insominasi


 “Saat manusia mulai merasa memiliki bumi, maka ia telah kehilangan sisi alamiahnya.”
*Taufan Ishmael
A. Selayang Pandang
            Tersebutlah manusia-manusia yang menghabiskan seluruh usianya di atas perahu. Merekalah Picalang. Para Manusia arif yang memiliki insting membaca musim dan pergerakan alam. Sebuah Novel yang sangat wajib baca, bukan hanya karena ide dan gagasan didalamnya, namun karena selayaknyalah manusia modern jaman ini berkaca dengannya; Bahwa hidup dan kehidupan adalah Berkah yang harus kita jaga dan kita perlakukan searif mungkin. Itulah Landasan hidup Para picalang. Mereka yakin; Bahwa cara mereka memperlakukan alam, adalah juga cara alam memperlakukan mereka. oleh karenannya Manusia-manusia Pincalang sangat membenci keserakahan dan ketamakan.


            Meski begitu, modernisasi seolah badai yang terus memata-matai dan siap memangsa, Hingga suatu waktu, modernisasi menghantam dan memaksa kehidupan manusia perahu. Para kapitalis dengan pongah berondong-bondong dan berlomba mengeruk isi alam guna keuntungan yang sebanyak-banyaknya, dan sudah pasti tanpa memerhatikan akibatnya. Hutan bakau habis digunduli, biota laut terkuras, disapu habis, yang tersisa kemudian hanyalah Alam yang menangis, tak sanggup lagi memberikan makanan bagi manusia dan makhluk lainnya.
           
B. Analisa; Melampaui Diskursus Antropologi
            Dalam diskursus (wacana) antropologi moderen, manusia dilekatkan sebagai satu-satunya objek yang berkuasa atas benda-benda alam disekitarnya, atau kerap diistilahkan sebagai Antropos(entris). Justru didalam Novel ini sebaliknya. Novel ini mengusung konsep jungkir balik sebagai salah satu fitur ke-khasannya. Disini alam dan manusia digambarkan nyaris tanpa batasan fisikal, hanya saja ada beberapa bagian yang menurut hemat kami sangatlah dibuat terlalu kompromis atau mengada-ada. Mungkin inilah titik berangkat dan plat form dari penulisan novel setebal 256 halaman ini.
            Dalam masyarakat demikian, relasi antara manusia dan alam secara keseluruhan, sepenuhnya berbeda dengan masyarakat modern. Fakta paling signifikan adalah bahwa dalam masyarakat komunal primitif, binatang tidak menjadi milik siapapun. Tak ada properti privat atas laut, tanah, tumbuhan ataupun binatang, semuanya tidak terdomestikasi; tidak ditaklukan. Walaupun beberapa binatang diburu, binatang-binatang tetap hidup bebas dan liar. Manusia hanya mengambil apa yang mereka butuhkan dari alam, binatang hanya diburu sesuai kebutuhan pangan atau sandang komuniti yang jelas terbatas.
            Melalui novel ini Idris Pasaribu (Penulis Buku) juga Ia mengajak kita untuk melihat Pincalang dengan Perspektif Kosmologis yang ketat; Binatang digambarkan bukan sebagai komoditi atau barang dagangan, melainkan sebagai sebuah campuran dari kekaguman, keajaiban yang patut direspek dan ditakuti. Selain itu, Para Pincalang tidak menempatkan Binatang sebagai spesies yang lebih rendah dari manusia, binatang dilihat sebagai makhluk hidup yang berbagi alam dengan manusia. Fakta ini jugalah yang menjelaskan mengapa komunitas-komunitas adat mengadopsi binatang tertentu sebagai simbol mereka, dalam kasus lain binatang juga sering dianggap sebagai pelindung suku yang harus dihormati.

C. Kesimpulan
Ya, kami terus yakin hingga saat ini, ketika manusia merasa bahwa semua yang terkandung di Alam adalah miliknya, maka sesungguhnya ia telah kehilangan sisi alamiahnya. Ini fakta bahwa manusia juga telah menegasikan sisi paling liar didalam dirinya untuk segera didisiplinkan, dan selanjutnya berujar bahwa  inilah peradaban paling tinggi pencapaian umat manusia saat ini.
            Relasi manusia dengan alam , secara radikal telah tertransformasikan menjadi hubungan perbudakan permanen, dimana alam hanya diposisikan sebagi sesuatu yang pasif dan sama sekali bukan subjek. Alam dikacamata ini hanyalah sesuatu yang harus ditaklukan, diekploitasi dan untuk kebutuhan komoditi dan industrial.
            Kini, Komunitas adat ditendang jauh oleh Manusia itu sendiri, kita telah menciptakan Domestikasi dan Perbudakan(Pengurungan), pembudidayaan tumbuhan rakitan kimiawi dan pengurungan binatang di tempat-tempat tertentu, adalah titik kunci awal penggantian yang berangsur-angsur dari gaya hidup nomadik dengan sistem yang melahirkan negara, kelas, kota, kerja dan properti privat.  Salam
“ saat mendomestikasikan binatang dan tanaman, manusia pada intinya mendomestikasikan dirinya sendiri.

Daftar Pustaka :
Agrikultur- Jhon Zerzan
Terbuangnya Manusia dari Taman Firdaus    - Green Anarchy



           

2 komentar:

  1. kayaknya saya kenal siapa yg tulis ini.. hahaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. KENALKAN DONG SAMA ORANGNYA KALAU KAMU KENAL :D

      Hapus